Total Tayangan Halaman

Jumat, 24 Desember 2010

syelvia's file: DISORIENTASI REFORMASI BIROKRASI

syelvia's file: DISORIENTASI REFORMASI BIROKRASI: "Komitmen pemerintah dalam pelaksanaan reformasi birokrasi dipertegas dengan diterbitkannya Peraturan ..."

DISORIENTASI REFORMASI BIROKRASI


Komitmen pemerintah dalam pelaksanaan reformasi birokrasi dipertegas dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014 yang menetapkan 11 prioritas nasional, di mana reformasi birokrasi dan tata kelola ditempatkan pada prioritas pertama. Reformasi Birokrasi yang kini tengah berjalan di Indonesia sudah memasuki gelombang kedua. Saat berjalannya gelombang pertama terjadi disorientasi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi karena motivasinya cenderung pada perbaikan remunerasi melalui tunjangan kinerja.
            Remunerasi atau system penggajian adalah merupakan imbalan atau balas jasa yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja sebagai akibat dari prestasi yang telah diberikannya dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Sedangkan pengertian resmi menurut kamus Bahasa Indonesia adalah pembelian hadiah (penghargaan atas jasa dsb); imbalan. Remunerasi berasal dari bahasa Inggris yaitu Remuneration. Wikipedia memberi penjelasan, “Remuneration is pay or salary, typically a monetary payment for services rendered, as in an employment. Usage of the word is considered formal.”
            Untuk menghindari terjadinya disorientasi yang lebih pada motivasi perbaikan remunerasi, seperti yang sudah terjadi pada reformasi birokrasi gelombang pertama, kalau instansi pemerintah yang mengusulkan reformasi birokrasi hanya mengedepankan atau motivasi utamanya semata-mata perbaikan remunerasi, usulan tersebut hendaknya ditolak. Sebab proses untuk mendapatkan anggaran reformasi birokrasi harus didahului dari pengajuan reformasi birokrasi oleh masing-masing Kementerian/Lembaga yang kemudian, pihak Kementerian Keuangan akan memasukkan program itu ke Kementerian Negara Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang kemudian akan diverifikasi oleh Komite Independen. Setelah itu, Kemenkeu kemudian akan mereview yang kemudian dibahas oleh dewan pengarah. Setelah proses panjang itu baru kemudian diputuskan hingga pada akhirnya masuk ke DPR dan remunerasi bisa cair.
            Kekurangan dan kendala lain yang terjadi dalam reformasi gelombang pertama antara lain belum maksimalnya pencapaian sasaran pembenahan pada aspek kelembagaan, tatalaksana, manajemen SDM aparatur, akuntabilitas, pengawasan, pelayanan publik, reward and punishment, serta perubahan mindset dan culture set. Selain itu, belum dikembangkan sistem monitoring dan evaluasi yang komprehensif dan terpadu secara nasional. Di mana masih banyak pemimpin instansi pemerintah yang tidak berani memberikan punishment kepada jajarannya yang melakukan kesalahan atau penyimpangan. Selain itu masih banyak implementasi di lapangan yang memerlukan pembenahan atau reform, diantaranya masih adanya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dibuktikan dengan adanya aduan dari masyarakat; harapan masyarakat terhadap tingkat kualitas pelayanan publik yang belum optimal; dalam pelaksanaan tugas pokok masih perlu peningkatan yang mendasar pada tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang belum optimal dari birokrasi pemerintahan; tingkat transparansi dan akuntabilitas yang masih memerlukan peningkatan serta tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah.
            Melalui Reformasi Birokrasi yang digalakkan pada gelombang kedua ini diharapkan memiliki output berupa sistem birokrasi yang bersih; birokrasi yang efisien, efektif dan produktif; birokrasi yang transparan; birokrasi yang melayani masyarakat; birokrasi yang akuntabel; integritas tinggi; memiliki profesionalitas dan moralitas; juga produktivitas tinggi dan bertanggung jawab. Selain itu diharapkan aparatur negara bisa bekerja secara efisien dan efektif, serta dapat dipertanggung jawabkan dan sejahtera dengan gaji yang diberikan oleh Negara.

Selasa, 02 November 2010

Permasalahan Otonomi Daerah

Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah.  Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
  1. Kewenangan yang tumpang tindih

    Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi. 
  2. Anggaran

    Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
  3. Pelayanan Publik

    Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
  4. Politik Identitas Diri

    Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis
  5. Orientasi Kekuasaan

    Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
  6. Lembaga Perwakilan

    Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
  7. Pemekaran Wilayah

    Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional  secara keseluruhan.
  8. Pilkada Langsung

    Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.